Sikapak

Thursday, August 30, 2012

http://pe.nul.is

  Kampung halaman saya cukup dari pusat kota. Kota Pariaman. Memakan waktu 1 hari perjalan an (jalan) kaki. Namun 10 menit saja jika naik kendaraan bermotor. Sepanjang perjalanan tidak akan ditemukan jalan-jalan rusak. Semua mulus tanpa bulu.

  Desa saya telah diberi nama Sikapak, tanpa sepengetahuan saya. Pernah dinobati sebagai Juara II sebagai Desa Berprestasi tingkat SUMBAR. Itupun tanpa seijin saya.

  Maka saya merasa beruntung sangat setelah pulang mudik lebaran kemaren ternyata berbarengan dengan musim panen. Maka saya dapatilah panorama kuning di seantero persawahan kampung tersebut.

  Kalo musim panen gini saya ga perlu was-was jika ingin menjelajah di hamparan sawah, menapaki pematang sawah, berburu burung pipit yang tamak. Kenapa? Karena tak ada luluak (lumpur).

 *  *  *

  Lalu semua berubah sejak Kerajaan Api menyerang  isu global warming muncul ke permukaan. Saya tak menolak kualitas isu tersebut karena memang kampung kami mengalami perubahan iklim. Jangan membayangkan suhu udara yang terik dan panas kala siang dan dingin menusuk di kala malam. Perubahannya tidak se-ekstrim itu. Yang saya rasakan adalah kalo malam suhu udaranya dingin banget kayak di Alpen sedang siangnya suhu tetap stabil normal.

  Sengaja saya tidak meneliti fenomena itu karena toh yang ngerasain mungkin cuma saya sendiri. Saudara2 saya malah tak terpengaruh. Nah bagaimana kalo saya yang meriang? Siapa yang harus menanggu malu atas ke-bego-an saya ini??

  Jawabnya adalah saya telah lambat beradaptasi. Saya masih termanja-manja dengan cuaca harian kota Sekayu yang relatif hangat menjurus panas. Apalagi disokong oleh polusi udara dan bau yang dihasilkan dari pabrik pengolah getah karet yang dibangun begitu dekat dengan pemukiman warga.


bersambung..........




2 comments:

  1. jadi kangen pulang ke kampung, kebetulan kampung saya di Padang Alai

    ReplyDelete