Mencari Halal

Thursday, July 05, 2012


Sumber: hidayatullah.com


Sebuah perkerjaan tidaklah dinilai dari besar kecilnya gaji yang diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar yang harus dicamkan adalah, “Apakah Allah ridha dengan pekerjaanku ini?”
  Inilah cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan Nabinya; bukan menuruti logika materialis-atheis yang hanya mengedepankan pragmatisme. 


  Cara berpikir pragmatis tak bertuhan inilah yang membuat sebagian orang dengan berani menyebut perzinaan sebagai “pekerjaan”, seolah-olah hendak menyamakannya dengan guru, petani, pedagang, advokat atau birokrat. Bukankah sebagian besar kita telah terbiasa melafalkan PSK (Pekerja Seks Komersial), dan bukannya pelacur atau pezina? Astaghfirullah.

  Bekerja mendapatkan rezeki yang halal adalah kebajikan, apapun bentuk dan derajatnya di mata manusia. Bahkan, Rasulullah menjadikannya sebagai salah satu kewajiban bagi umatnya. Beliau bersabda, “Mencari yang halal adalah kewajiban setiap Muslim.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dari Anas bin Malik. Menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan).
Itu artinya, pekerjaan yang halal bisa bermakna ibadah. Setiap tetes keringat akan dihargai dengan pahala berlipat ganda. Apapun yang dihasilkannya menjadi berkah, dan semakin menguatkan tali perhubungan dengan Sang Pencipta. Rasulullah bersabda,  

“Sungguh, tidaklah engkau memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).

  Pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik dibanding mengemis, bagaimana pun caranya.

  Sebaliknya, pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar, sangat boleh jadi hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak diridhai Allah. Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan, kekacauan, dan berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti semakin menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk.

  “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan." (QS. Thaha: 124-126).


  Dengan kata lain, menurut Islam, kehidupan yang lapang – pertama-tama – bukan diukur dari lapangnya materi, namun dari aspek keselarasan kehidupan itu dengan tuntunan Allah. Baru setelahnya, aspek-aspek lain mengikuti. Entah melarat atau kaya-raya, jika kehidupan seseorang tidak sejalan syari’at, maka layak disebut sebagai “kehidupan yang sempit”.


  Sama juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang mengikuti aturan Allah adalah “kehidupan yang lapang” itulah yang namanya berkah.

Sumber

No comments:

Post a Comment